Politisafe: Pendidikan Politik Gen Z Menuju Transisi Politik dan Kekuasaan
Oleh Auren Nanda Vrista*
Pendidikan politik adalah proses pembelajaran dan pengajaran tentang sistem politik, lembaga politik, proses politik dan nilai-nilai demokrasi. Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman masyarakat tentang politik, serta membekali mereka dengan ketrampilan untuk berpartisipasi dalam proses demokrasi.
Pendidikan Politik dapat mencakup topik-topik seperti: (1) sistem pemerintahan dan lembaga politik; (2) proses politik dan pengambilan keputusan; (3) hak dan kewajiban warga negara; (4) nilai-nilai demokrasi dan toleransi; dan (5) analisis kebijakan publik.
Salah satu generasi yang strategis menjadi sasaran dalam pendidikan politik adalah Generasi Z (Gen Z), yakni generasi yang lahir dari tahun 1997 hingga 2012. Dengan populasi mencapai sekitar 46.8 juta jiwa, Gen Z mewakili 22.85 persen dari total Daftar Pemilih Tetap pada Pemilu 2024. Generasi ini menempati posisi kedua setelah Generasi Millenial (Gen Y). Sementara itu data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2020 menyebut bahwa Gen Z adalah generasi paling besar jumlahnya di Indonesia, yaitu sebesar 27,94 persen. Oleh karena itu Gen Z akan menjadi generasi yang paling berpengaruh di masa depan menggantikan Gen Y yang akan mengakhiri masa politik dan kekuasaannya pada tahun 2039. Sehingga posisi Gen Z tidak hanya signifikan secara kuantitatif, tetapi juga akan membawa dinamika baru dalam politik berbangsa dan bernegara.

Data Pemilu 2019 dan 2024 menunjukkan peningkatan jumlah partisipasi pemilih atau voters’turnout dari 80.90 persen menjadi 81.78 persen. Capaian angka partisipasi pemilih yang tinggi pada dua Pemilu itu ternyata tidak serta merta seiring dengan kualitas pemilih itu sendiri. Untuk itu pendidikan politik, khususnya Gen Z dalam mewujudkan generasi yang matang, yang siap menghadapi tahun transisi politik dan kekuasaan pada tahun 2039 mendatang sangat diperlukan.
Sebagai digital natives, Gen Z tumbuh di era teknologi informasi yang sangat maju. Mereka memiliki akses informasi yang luas ke internet, media sosial dan perangkat digital lainnya. Namun tingkat literasi politiknya masih perlu ditingkatkan. Banyak dari mereka yang belum sepenuhnya memahami mekanisme politik formal dan pentingnya partisipasi aktif dalam proses demokrasi.
Dalam hal itu, maka pendidikan politik bagi Gen Z dengan cara konvensional seperti door to door, pertemuan tatap muka, menggunakanmedia komunikasi cetak dan TV tidak lagi dapat dilakukan sepenuhnya. Untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman politik mereka, peran media sosial menjadi sangat penting. Platform digital seperti Google, Youtube, TikTok, dan Meta dapat menjadi ruang sosialisasi dan pendidikan, serta penyebaran informasi politik. Meskipun demikian harus disadari, bahwa Gen Z dalam mengkonsumsi informasi politik terjadi karena tidak sengaja atau secara insidental. Artinya Gen Z tidak secara khusus mencari informasi politik di media online, mereka mendapatkan informasi politik dari media sosial, padahal salah satu tujuan bermedia sosial adalah untuk mencari hiburan. Sementara informasi politik bukan tipikal informasi yang mengandung hiburan, sehingga kurang diminati. Selain itu dalam melakukan searching, Gen Z memiliki rata-rata rentang perhatian suatu informasi kurang lebih hanya 8 detik.

Penelitian Evita (2023) menyimpulkan bahwa meskipun Gen Z mendapatkan informasi politik secara kebetulan atau secara insidental dari media sosial. Namun generasi ini tidak menelan informasi tersebut secara mentah-mentah. Semua informasi yang diperoleh dari media sosial tersebut dilakuan verifikasi kebenarannya di search engine atau intenet, kemudian ditelusuri ke media online. Ini artinya bagi Gen Z informasi politik yang diperoleh itu berusaha dipahami, sehingga dapat meningkatkan literasi politiknya.
Sejalan dengan itu penelitian Robin et al (2022) menunjukkan bahwa sebetulnya Gen Z tertarik dengan politik namun mereka merasa kurang informasi tentang politik dan generasi ini juga menginginkan adanya pendidikan politik. Di sisi ini, mereka membutuhkan informasi terkait politik, namun di sisi lain studi yang dilakukan oleh Plus One yang dilansir oleh majalah Teen Vogue dalam Evita (2023) menunjukkan bahwa hampir 40 persen responden Gen Z merasa stress akibat politik. Bahkan hampir 20 persen mengaku mengalami gejala depresi yang tekait dengan politik.
Atas dasar pola pencarian informasi politik dan dampak yang ditimbulkan tersebut, maka Partai Politik sebagai pilar demokrasi yang memiliki tanggung jawab dalam melakukan pendidikan politik harus dilakukan secara cerdas dan tepat. Konten pendidikan politik bagi Gen Z sudah pasti harus diarahkan pada telepon pintarnya. Sebab smartphones yang mereka miliki merupakan ‘jalan toll informasi’ yang dapat dimaknai sebagai infrastruktur dalam pencarian dan penyebaran informasi. Dimana biasanya informasi tersebut didapat dari media dalam jaringan, media sosial, atau aplikasi pesan instan (instant messaging app).

Seiring dengan itu Partai Politik harus smart dalam menyediakan konten pendidikan politik. Mengingat rentang perhatian Gen Z terhadap suatu informasi dalam smartphones kurang lebih hanya 8 detik. Sehingga Partai Politik harus mampu membuat konten yang menarik dalam rentang waktu 8 detik. Konten yang menarik dapat menjadi pintu gerbang Gen Z untuk mencari informasi tentang politik lebih lanjut. Namun di sisi lain, apabila konten tersebut dirasa membosankan, maka kesempatan menarik perhatian tersebut akan menjadi sia-sia. Dengan kata lain rentang waktu 8 detik itu menentukan keberlanjutan, apakah Gen Z akan menelusuri informasi lebih dalam atau malah cuek dan cenderung menghindari informasi tersebut.
Informasi politik harus bisa keluar dari stigma berat dan atau membosankan. Oleh karena itu konten informasi politik yang dibuat perlu memperhatikan format-format tertentu, seperti format audio visual, video vertikal, pencarian cerita naratif (narrative story telling), dan membuat unsur-unsur soft selling, atau ajakan yang sifatnya tidak langsung.
Hal lain yang harus menjadi perhatian dalam menyusun konten adalah menempatkan Gen Z sebagai audiens yang aktif dan termotivasi dalam konsumsi media. Bukan apa yang media lakukan untuk audiens, melainkan apa yang akan audiens lakukan terhadap media. Sehingga ketika audiens menggunakan media dengan maksud tertentu, mereka juga mendapat kepuasan tertentu dari dari hasil konsumsi tersebut. Dalam hal ini Whiting & Williams dalam Evita (2023) mengungkapkan tentang tujuh tema yang paling sering digunakan dalam media berbasis internet (digital), yaitu interoperabilitas, aktivitas sosial, pencarian informasi, waktu yang dihabiskan, hiburan, relaksasi, kegunaan, serta kepraktisan dan kenyamanan dalam berkomunikasi. Kerangka kerja ini dapat digunakan untuk mengkaji pola konsumsi media dan informasi pada Gen Z.
Peluang yang dapat dimanfaatkan oleh Partai Politik dalam memberikan pendidikan politik yang efektif melalui media sosial kepada masyarakat, termasuk Gen Z, karena mereka lebih terisolasi dalam konsumsi informasi. Hal ini karena algoritma media sosial yang membantu menampilkan informasi yang sering audiens konsumsi baik berdasarkan history pengguna maupun kesamaan informasi antar pengguna. Dimana apabila konten mengenai politik disukai Gen Z, maka bisa jadi mereka akan sering disuguhkan informasi-informasi sejenis secara otomotis di media sosial masing-masing. Peluang ini menjadi realistis, apabila Partai Politik mampu mengandeng beberapa stakeholders, seperti Google, Youtube, TikTok, Meta, serta Public Figure dan Influencer untuk membantu blasting informasi tentang topik-topik pendidikan politik. Sehingga topik-topik tersebut bisa tayang secara insidental di layar smartphones audiens, khususnya Gen Z.

Media sosial sebagai pusat informasi politik, tidak dapat dipastikan bahwa semua informasi yang tersebar di dalamnya adalah informasi yang benar. Bisa jadi informasi tersebut adalah informasi yang salah, entah itu misinformasi, disinformasi atau bahkan malinformasi. Dalam hal ini Derakkshan dan Wardle dalam Evita (2023) menyebut misinformasi dan disinformasi menjadi tujuh tipe konten: satir atau parodi (satire or parody), konten yang menyesatkan (misleading content), konten tiruan (imposter content), konten palsu (fabricated content), koneksi yang salah (false connection), konten yang salah konteks (false context), dan konten yang dimanipulasi (manipulated content).
Selain itu perkembangan teknologi AI (Artificial Intellegence) juga telah mengubah jenis hoax menjadi semakin advanced. Sebelumnya, hanya berupa teks, namun saat ini sudah berubah menjadi audio visual, sehingga muncul istilah deep fake. Dalam hal ini yang perlu diantisipasi, apabila deep fake sifatnya sudah misinformasi, disinformasi dan malinformasi atau informasi yang benar namun sengaja dipakai untuk menyerang lawan. Biasanya ini ditemui di berita-berita atau informasi yang diperoleh dari penelusuran platform yang sudah lama, yang dikemas lagi dengan baik dan dinaikan kembali menjadi berita.
Untuk itu sebagai digital natives, Gen Z dalam menerima pendidikan politik di media sosial, juga harus mendapat informasi tentang keteladanan etika dan berbudaya politik dari para elite politik. Hal ini diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan (trust) bahwa mekanisme politik dan partisipasi dalam proses demokrasi bagi warga negara memang diperlukan. Sehingga Gen Z secara sadar ikut bertanggung jawab menjaga keamanan digital dalam transisi politik dan kekuasaan.
Kesimpulan
Pendidikan politik bagi Gen Z bukan hanya menyampaikan pengetahuan topik-topik pendidikan politik, tetapi juga tentang membangun etika dan budaya politik yang dapat memerkokoh fondasi demokrasi yang berkelanjutan.
Partai Politik dalam melakukan pendidikan politik kepada Gen Z melalui media sosial akan efektif hanya jika kontennya dapat disampaikan dalam rentang waktu 8 detik, menarik, dan keluar dari stigma yang berat. Dalam hal ini Partai Politik juga harus bekerjasama dengan stakeholders, seperti Google, Youtube, TikTok, Meta, serta Public Figure dan Influencer untuk membantu blasting agar konten topik-topik pendidikan politik, etika dan budaya politik bisa tayang secara incidental dan menarik di layar smartphones Gen Z.
Dengan pendidikan politik, etika dan budaya politik, serta keteladanan para elite politik yang secara history sering tayang di media sosial akan meningkatkatkan literasi politik Gen Z, khususnya dalam memahami mekanisme politik formal dan partisipasi politik dalam proses demokrasi. Hal ini diperlukan agar pada gilirannya menjalani transisi politik dan kekuasaan menuju Indonesia Emas, Gen Z dapat mempercepat terwujudnya Indonesia Raya yang adil, makmur dan sejahtera. Right or wrong is our country, so let’s ensure our country is right and not wrong.
Canggu, 06 Juni 2025
*Penulis adalah Gen Z, tinggal di Bali



Discover more from patroliborgol.com
Subscribe to get the latest posts sent to your email.